Wednesday, March 26, 2014

Proses Pembuatan Benang Sutera (Benang Twist)

Benang twist merupakan benang raw silk atau benang sutera mentah yang telah dirangkap dan digintir. Benang raw silk yang akan menjadi benang twist sebelumnya melalui beberapa proses yang meliputi :

1.      Pengeringan Kokon kode C.301
Pengeringan kokon bertujuan untuk mematikan pupa dan mengurangi kadar air pada lapisan sutera dan pupa. Perubahan pupa menjadi ngengat ± 12 hari setelah ulat mengokon, maka sebelum keluar menjadi ngengat, pupa harus dimatikan untuk menghindari kerusakan kokon. Bersamaan dengan mematikan pupa juga berlangsung pengeringan kokon yaitu menurunkan kadar air kokon.
Kokon segar yang baru dipanen mengandung kadar air sekitar 61% - 64%, setelah dikeringkan kadar airnya turun menjadi 6% - 12%. Dengan demikian memungkinkan untuk menyimpan kokon dalam waktu yang lama pada kondisi suhu dan kelembaban lingkungan yang normal. Ada berbagai cara untuk mengeringkan kokon diantaranya adalah penjemuran, pengukusan, dan pengovenan.
                                     
2.      Flossing Kokon kode C.301
Flossing adalah proses menghilangkan cocoon floss (serabut serat) atau lapisan luar kokon dari permukaan kulit kokon dengan menggunakan .floss remover yaitu alat pembersih serabut kokon atau menggunakan kayu yang sudah diiri - iris pinggirannya. Lapisan luar kokon terdiri dari filamen-filamen kusut dan terputus-putus yang menyerupai bulu, sehingga perlu dihilangkan agar tidak menghambat pada saat pencarian ujung filamen, sehingga filamen pada kokon dapat mudah diurai saat proses reeling (Departemen Perindustrian, 2008:18).

3.      Seleksi Kokon kode C.301
Kualitas benang tergantung pada kualitas kokon yang dipintal. Kokon yang tidak seragam menyebabkan panjang dan tebal benang tidak merata dan akhirnya menghasilkan benang yang kurang baik. Sama halnya untuk warna dan bentuk kokon yang tidak seragam akan menghasilkan filamen kokon yang terputus-putus yang akhirnya dapat menurunkan kualitas benang (Atmosoedarjo, dkk. 2000:170). Untuk mencegah kokon yang tidak seragam maka kokon diseleksi sebelum dipintal.
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000), kokon yang harus ditolak adalah kokon yang berisi ulat mati, kokon berujung tipis, kokon bernoda, kokon berkulit tipis, kokon tertimpa/tergencet, kokon berbentuk abnormal, kokon berserabut, kokon berkulit jarang (lose shell cocoon), kokon dengan bekas frame pada kulitnya dan kokon yang berjamur.

4.      Perebusan Kokon kode C.301
Perebusan kokon bertujuan untuk melarutkan serisin yang bersatu dengan filamen. Bagian luar filamen sutera terbentuk dari serisin sehingga filamen yang satu dengan yang lain saling merekat (INDAG Jabar, 2009). Maka untuk melepaskan filamen kokon yang direkatkan oleh serisin, dengan jalan merebus kokon menggunakan air panas, sehingga kulit kokon mengembang, menjadi lunak dan memungkinkan filamen sutera diurai dan digulung pada haspel tanpa menjadi kusut ataupun putus (Atmosoedarjo, dkk. 2000:180).
Proses perebusan dapat mempengaruhi pula mutu benang sutera yang dihasilkan. Semakin banyak jumlah putus benang yang terjadi selama proses reeling yang diakibatkan oleh proses perebusan yang terlalu lama maupun terlalu sebentar berarti semakin rendah persentasi daya gulung filamen, dan panjang filamen yang terbentuk akan semakin pendek (Lee, 1999).

5.      Reeling Kokon kode C.301
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000:184) reeling sutera adalah proses penyatuan beberapa filamen untuk dipintal menjadi benang sutera. Setelah proses pencarian ujung filamen, kokon dipindahkan ke bak yang ada dimesin reeling untuk dilakukan pemintalan atau reeling. Tujuan proses ini yaitu untuk mengurai filamen pada kokon, menyatukannya dan menggulungnya pada haspel sehingga menjadi benang raw silk atau benang mentah.
Saat proses reeling suhu air pada bak reeling perlu diperhatikan karena dapat mempengaruhi daya gulung filamen. Oleh sebab itu, suhu air  pada bak reeling diusahakan berkisar 40o – 60o C (Budisantoso, 1992). Selain itu, saat proses reeling benang yang akan melewati pengantar benang sebelumnya diberi twist palsu sebanyak 8 - 10 gintiran dengan maksud untuk mengurai kadar air dalam filamen dan meningkatkan kohesi pada benang.

6.      Rereeling Kokon kode C.301
Rereeling atau penggulungan ulang adalah proses menggulung kembali filamen sutera yang telah digulung pada penggulung kecil (hasil reeling) untuk dipindahkan ke penggulung yang lebih besar (keliling 150 cm) yaitu dalam bentuk strengan. Dalam bentuk strengan inilah untuk memudahkan penimbangan dan packing, atau untuk menyiapkan proses selanjutnya. Pada umumnya ukuran baku berat sutera per gulung hasil mesin rereeling adalah 70 gram atau 140 gram (Atmosoedarjo, dkk. 2000:197:199).
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000) pembasahan reel, sebelum dan selama rereeling diperlukan untuk melunakkan dan mengembangkan serisin sehingga memudahkan rereeling. Ada beberapa cara pembasahan reel : (1) permeasi vakum (vacuum permeation), (2) dengan merendam reel dalam bak perendaman dan (3) dengan membasahi dengan lap secara manual.

7.      Pencelupan Benang Raw Silk
Pencelupan benang bertujuan untuk melarutkan serisin yang masih terdapat pada benang raw silk, sehingga benang tidak mudah putus saat dilakukan proses winding. Pencelupan benang ini dilakukan apabila benang dalam bentuk gulungan masih direkatkan serisin yang disebabkan setelah proses rereeling benang tidak direlaksasi dengan benar, sehingga benang yang satu dan lainnya masih saling merekat dan semakin mengeras ketika benang mengering.
Pencelupan benang dilakukan dengan cara mencelup-celupkan benang ke dalam air dengan suhu 50o C sampai semua bagian benang basah, namun apabila benang yang telah dicelupkan ke dalam air hangat masih direkatkan oleh serisin maka pencelupan harus ditambahkan olive oil untuk memudahkan saat pemisahan benang yang satu dengan lainnya. Suhu air yang digunakan perlu 50o C karena pada suhu tersebut serisin sudah dapat larut, sedangkan apabila suhu kurang 50o C serisin tidak larut sepenuhnya dan apabila lebih dari itu ditakutkan benang akan pecah dan menjadi rapuh sehingga benang akan mudah putus saat dilakukan proses winding.

8.      Winding
Winding merupakan proses menggulung benang dari bentuk untaian benang ke bentuk bobbin. Tujuan proses ini, yaitu untuk membuang benang-benang yang lemah dan tidak rata, juga untuk memudahkan saat proses doubling atau perangkapan.

9.      Doubling
Doubling atau proses perangkapan bertujuan untuk merangkap benang tunggal atau single menjadi benang multiple atau ganda, Benang dirangkap sesuai kebutuhan (2,3 atau 4 rangkap) dengan menggunakan mesin doubling (Atmosoedarjo, dkk 2000:213).

10.  Twisting
Benang raw silk yang sudah di doubling perlu di twisting, tujuannya untuk mencegah pecahnya benang saat dilakukan proses degumming. Selain itu, juga dapat memberi daya penutup (covering capacity) yang lebih besar, dibanding dengan benang single dengan denier yang sama. Ada dua arah twist untuk menggintir benang, yaitu “Z” twist, untuk ke arah kiri dan “S” twist, untuk ke arah kanan (Atmosoedarjo, 2000:210).

11.  Setting
Menurut Atmosoedarjo, dkk (2000:214) setelah digintir benang perlu diset dengan mesin pengeset vacuum, dengan suhu 70o C selama 30 menit. Setting benang twist bertujuan untuk mengubah snelling atau menggulungnya benang setelah proses twisting agar benang menjadi lurus, sehingga saat  proses rewinding benang tidak mudah putus.

12.  Rewinding
Benang yang telah diset selanjutnya direwind (dipindahkan) dari bobbin ke haspel besar untuk dijadikan benang dalam bentuk untai atau ukel.  Putus benang dalam proses ini akan menurunkan efisiensi kerja dan meningkatkan jumlah limbah suteranya (Atmosoedarjo, dkk 2000).

Gambar Benang Raw Silk

Gambar Benang Twist


SUMBER

Amirudin, Theresia Mutia, Margono, Suprihartini, Tasunjaya, Atang. 2006. Balai Besar Tekstil. Studi Pemanfaatan Kokon Cacat sebagai Bahan Tekstil Non Sandang : 69.

Agriculture and Consumer Protection. Silk Reeling and Testing Manual. Chapter 5: Cocoon Cooking. http://www.fao.org/docrep/x2099e/x2099e03.htm. [23 November 2013].

Atmosoedarjo, H. S., J. Katsubrata, M. Kaomini., W. Saleh, dan W. Moerdoko. 2000. Sutera Alam Indonesia. Jakarta: Sarana Wana Jaya.

Budisantoso, Harry. 1992. Pengaruh Suhu Air pada Bak Reeling terhadap Daya Gulung, Rendemen dan Kebersihann Benang Sutera. Jurnal Penelitian Kehutanan Vol. VI. No. 2 Maret 1992.

Budisantoso, Harry. 1993. Pengaruh Sistem Perebusan kokon Terhadaap Panjang Rendemen Dan Daya Gulung.  Jurnal Penelitian Kehutanan Vol. VII No. 3 Maret 1993.

Departemen Perindustrian Direktorat Jenderal Industri Kecil Dan Menengah Direktorat Industri Sandang. 2008. Acuan Standar Benang Sutera Mentah. Jakarta.

Dinamika Penelitian BIPA, 2004. Pengaruh Pemasakan Kokon Pada Proses Reeling Sutera Terhadap Mutu Benang Yang Dihasilkan. Majalah. [Online]. Tersedia: http://palembang.bpkimi.kemenperin.go.id/publikasi-majalah/186-pengaruh-pemasakan-kokon-pada-proses-reeling-sutera-terhadap-mutu-benang-yang-dihasilkan-.html. [29 Januari 2013].

Guntoro, S. 1994. Budidaya Ulat Sutera. Yogyakarta: Kanisius.

Hamali, 2010. Pengaruh Sistem Perebusan Kokon Ulat Sutera Kode C.301 Terhadap Rendemen Pemintalan Dan Daya Gulung Serat Sutera. Jember.

INDAG Jabar (Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Jawa Barat), 2009. Pelatihan ATBM Sutera. Cianjur.

Lee, Y. 1999. Silk Rearing and Testing Manual. Bul FAO Agriculture Service: 136.

Pengeringan dan Penyimpanan Kokon. Artikel. [Online]. Tersedia:  http://www.agrisilk.com/Budidaya/ulat-sutera/Pengeringan-dan-penyimpanan-kokon.html. [21 Desember 2012].

Sulam, Abdul Latief. 2008. Teknik Pembuatan Benang dan Pembuatan Kain Jilid 1.Jakarta :Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jenderal ManajemenPendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.

STISITelkom. [Online]. Tersedia: www.stisitelkom.ac.id



No comments: